Di antara deretan kuliner tradisional yang tersebar di Yogyakarta, rujak es krim menempati posisi unik. Ia bukan makanan arus utama yang dijajakan di restoran besar, bukan pula jajanan kekinian yang ramai di media sosial. Namun dalam kesederhanaannya, kuliner ini menyimpan keistimewaan rasa yang tak ditemukan di kota lain. Kuliner ini tak hanya langka, tapi juga menjadi bukti bahwa Jogja memang istimewa, bahkan dalam hal rasa.
Penyajian rujak es krim dimulai seperti biasa: buah-buahan dipotong kasar dan diletakkan dalam mangkuk plastik sederhana. Siraman sambal gula merah yang pedas dan harum menjadi dasar rasa. Namun yang membedakannya dari rujak konvensional adalah satu scoop es krim susu homemade yang ditambahkan di atasnya. Es krim yang digunakan biasanya berwarna putih, tidak terlalu manis, dan memiliki tekstur yang lebih padat dibanding es krim pabrikan.
Perpaduan ini menghasilkan sensasi yang bertolak belakang namun saling melengkapi. Ketika suapan pertama masuk ke mulut, ada benturan suhu dan rasa: dingin bertemu pedas, manis bertemu asam, lembut bertemu renyah. Kontras yang tajam itu tidak menciptakan kekacauan, melainkan harmoni yang membingungkan sekaligus memikat.
Rasa yang dihasilkan bukan sesuatu yang bisa langsung didefinisikan. Ia kompleks, membingungkan, bahkan cenderung menantang persepsi umum tentang "cocok" dalam kuliner. Tapi justru di sanalah letak pesonanya: rasa yang tidak lazim, tapi menggugah rasa penasaran dan menyisakan keinginan untuk mencoba lagi.
Kini, rujak es krim mulai jarang ditemukan. Jumlah penjualnya kian menurun, terdesak oleh tren kuliner modern dan gaya hidup cepat saji. Banyak penjual rujak es krim adalah generasi tua yang tidak mewariskan keahlian ini pada anak-anaknya, dan tidak sedikit yang akhirnya berhenti karena alasan usia atau keterbatasan fisik.
Kuliner ini pun perlahan berubah dari makanan sehari-hari menjadi semacam “harta rasa” yang hanya bisa ditemukan di titik-titik tertentu kota: dekat pasar tradisional, di pojok gang sempit, atau di bawah rindang pohon pinggir jalan. Meski begitu, rujak es krim tetap bertahan sebagai simbol keberanian kuliner lokal. Ia adalah bentuk perlawanan halus terhadap pola pikir bahwa makanan harus selalu sesuai norma rasa yang umum. Di saat makanan kekinian sibuk meniru rasa dari luar negeri, rujak es krim berdiri kukuh sebagai contoh bahwa inovasi bisa lahir dari dapur rumahan, tanpa perlu teknologi canggih atau modal besar.
Di kota lain, mungkin rujak tetap disajikan dengan sambal kacang, dan es krim hanya jadi dessert manis di restoran. Tapi di Jogja, batas-batas itu dilebur dengan berani dan penuh kehangatan. Rujak es krim adalah bukti bahwa rasa tidak harus selalu masuk akal untuk bisa dinikmati. Kadang, justru di luar kebiasaan itulah kita menemukan hal yang paling memuaskan.
Rujak es krim bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita tentang keberanian bereksperimen, tentang kenangan masa kecil, tentang budaya kuliner yang terus bertahan meski tak pernah tampil di panggung besar. Ia adalah pengingat bahwa rasa tidak harus selalu masuk akal untuk bisa menyentuh hati.
Jadi, jika suatu hari kamu berjalan menyusuri gang-gang kota Jogja, dan mencium aroma sambal gula merah bercampur susu, berhentilah sejenak. Carilah mangkuk plastik sederhana itu. Cicipi sesuatu yang mungkin terdengar salah, tapi terasa begitu benar.
Sebab di Jogja, rasa tak selalu bisa dijelaskan. Tapi selalu bisa dirindukan.